WEWENANG GUBERNUR UNTUK MENERAPKAN SANKSI KEPADA BUPATI/WALIKOTA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2011

images/kantorb.jpgimages/kantora.jpgWEWENANG GUBERNUR UNTUK MENERAPKAN SANKSI KEPADA BUPATI/WALIKOTA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2011
YUNI HARIADI,SH.MH.
Staf Biro Hukum

Kedudukan dan wewenang gubernur tidak lepas dari konsepsi pemerintahan secara keseluruhan dimana pemerintah daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan negara Indonesia. Sebuah sistem pemerintahan dalam negara hanya akan berfungsi jika subsistem yang ada terintegrasi, saling mendukung , dan tidak berlawanan serta terkoordinasi dalam sistem pemerintahan berdasar UUD 1945. Pemahaman terhadap ini memberi landasan terhadap pentingnya penataan hubungan kewenangan dan kelembagaan antar level pemerintahan di pusat, di provinsi, dan di kabupaten/kota. Pasal 18  ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 amandemen kedua menyatakan bahwa pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Dalam praktek ketatanegaraan tidak mungkin semua urusan pemerintahan diserahkan kepada pemerintah daerah atau pemerintah pusat selalu ada  perimbangan antara kewenangan yang diselenggarakan secara sentralistis oleh pemerintah pusat dan kewenangan yang secara desentralistis diselenggarakan unit-unit pemerintahan daerah yang otonom. Hal ini pula yang melahirkan konsep local state government dan local self government. Jika local state government melahirkan wilayah administrasi pemerintah pusat didaerah yang dipresentasikan oleh gubernur, local self government  melahirkan daerah atau wilayah otonom yang direpresentasikan keberadaan DPRD. Local state government hanya ada di wilayah provinsi oleh karenanya provinsi memiliki kedudukan sebagai daerah otonom dan sebagai wilayah administratif, konsekwensinya selain sebagai kepala daerah gubernur juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi. Adanya representasi pusat di daerah guna menjamin keutuhan NKRI sebab desentralisasi tanpa sentralisasi yang perwujudannya dalam bentuk dekonsentrasi dapat menimbulkan disintegrasi.

UU 32/2004 yang merupakan perwujudan dari amanat konstitusi tentang pemerintahan daerah berdasarkan Pasal 37 dan Pasal 38 menempatkan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah yang salah satu tugasnya adalah melakukan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. konstruksi perwilayahan yang dianut oleh UU tersebut menempatkan gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah di daerah hubungannya dengan bupati/walikota bersifat hirarkis, namun  meskipun demikian dalam prakteknya sering kali kedudukan gubernur tersebut tidak di “hormati” oleh bupati/walikota yang berakibat pada disharmoni hubungn seperti antara Gubernur Jawa Barat dengan Walikota Solo, tidak di taatinya hasil klarifikasi Perda yang di lakukan  Gubernur NTB terhadap Perda Kabupaten Sumbawa Barat Nomor 1 Tahun 2010 tentang Komisi Pertambangan, konflik antarkabupaten terkait dengan perebutan wilayah yang terjadi di Sumatra Utara dimana dalam hal ini berdasarkan wewenang yang ada gubernur dapat menyelesaikannya namun peran tersebut tidak diindahkan oleh bupati/walikota. Mengingat akan hal tersebut dan dalam rangka revitalisasi kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah, pemerintah kemudian menerbitkan PP 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keungan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi. Keberadaan PP tersebut diharapkan mampu memulihkan gejah Gubernur namun apa yang terjadi khususnya dalam pelaksanaan koordinasi sering kali tidak dindahkan oleh bupati/walikota contoh konkrit baru-baru ini banyak bupati/walikota yang tidak hadir pada penyerahan DIPA atau pada saat dilakukan MUSRENGBANG Provinsi atau pada saat rapat kerja.

Dalam rangka peningkatan sinergitas dan koordinasi antara satuan pemerintahan, diterbitkanlah PP 23/2011 sebagai revisi atas PP 19/2010. Dalam ke dua PP tersebut diatur tugas dan wewenang gubernur yang dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c gubernur diberikan wewenang untuk menerapkan sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelanggaran kewajiban, dan pelaksanaan sumpah janji. Jika dikaji lebih lanjut wewenang tersebut mengandung kekaburan norma (vage norm) karena multitafsir sebagai akibat dari tidak dijelaskannya mekanisme penjatuhan, bentuk, tolok ukur serta akibat sanksi tersebut. Meskipun wewenang gubernur mengandung kekaburan norma hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi gubernur dalam menggunakan wewenang tersebut oleh karena berdasarkan sifat dari wewenang tersebut adalah wewenang bebas maka dalam penerapannya gubernur dapat menggunakan diskresi  untuk mengambil keputusan dan tindakan apabila bupati/walikota berkinerja rendah, tidak melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, dan melanggar sumpah/janji.

secara konseptual kekuasaan diskresi pemerintah merupakan kekuasaan yang timbul karena perkembangan atau perluasan konsep fungsi pemerintahan. Diskresi adalah kebebasan bertindak pemerintah dalam kaitan untuk menjawab perkembangan tuntutan dalam hidup kemasyarakatan terkait dengan fungsi pemerintah sebagai penyelenggara kepentingan umum dalam sebuah negara. Kebebasan bertindak pada pemerintah ini lahir karena situasi keterbatasan pengaturan hukum sebagai landasan bertindak bagi pemerintah untuk menjawab kekaburan norma yang terjadi. Diskresi tidak dapat dilakukan tanpa adanya conditio sine quo non yang mendasari diberikannya diskresi itu sendiri.

Pada dasarnya tidak semua kata, istilah, dan kalimat yang menunjukkan suatu kaedah hukum , baik yang dikemukakan dengan lisan atau dinyatakan dengan tertulis dalam bentuk perundangan itu  sudah jelas dan mudah di pahami termasuk dalam hal ini ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c PP 23/2011 dan untuk menjawab ketidakjelasan dan kekaburan yang terdapat didalam norma tersebut dalam ilmu hukum dikenal salah satu metode penafsiran/interpretasi sistematis untuk menjawab kekaburan norma. Interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum (undang-undang lain) atau dengan keseluruhan sistem hukum. Hukum dilihat sebagai satu kesatuan atau sebagai sistem paraturan. Satu peraturan tidak dilihat sebagai peraturan yang berdiri sendiri tetapi sebagai bagian dari suatu sistem. Undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan artinya tidak satupun dari perundang-undangan tersebut dapat ditafsirkan seakan-akan ia berdiri sendiri, tetapi ia harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya.

Terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c PP 23 Tahun 2011 adalah merupakan satu kesatuan sistem hukum dengan peraturan perundang-undangan lainya khususnya yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Oleh karena dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c tidak diatur tentang mekanisme,tolok ukur, dan bentuk sanksi apa yang dapat diberikan kepada bupati/walikota, maka digunakan penafsiran sistematis dengan menghubungkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c PP 23 Tahun 2011  dengan Pasal 29 UU 32/2004, Pasal 123 PP 6/2005, Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2)  PP 79/2005, Pasal 58 ayat (2) PP 6/2008.

Dalam hal wewenang gebernur yang terkait dengan kinerja jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 58 ayat (2) PP 6/2008 dan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) PP 79/2005 maka bentuk sanksi yang dapat diterapkan kepada bupati/walikota yang terkait dengan kinerja adalah:

  1. Penataan kembali daerah otonom
  2. Pembatalan pengangkatan pejabat
  3. Penangguhan dan/atau pembatalan kebijakan daerah
  4. Administratif
  5. Financial/penundaan pencairan dana perimbangan.

 

Sedangkan tolok ukur kinerja adalah berupa evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah(EPPD) yang dilakukan melalui evaluasi kinerja penyelenggaran pemerintahan daerah(EKPPD) yang diukur dari masukan, keluaran, manfaat, dan dampak dari kinerja bupati/walikota yang bersumber dari laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (LPPD) kepada gubernur. Adapun terkait dengan sanksi pelanggaran kewajiban dan sumpah/janji bupati/walikota berdasarkan penafsiran sistematis dengan Pasal 29 UU 32/2004 dan Pasal 132 PP 6/2005 pengaturan nya sudah jelas baik mengenai mekanisme/tata cara ataupun bentuk dan akibat hukum sanksinya.

Jenis: